Catatan Si Cepot Bumiayu
pengen corat coret aja,, sapa tau ada manfaatnya.. :)
Minggu, 14 Juli 2013
Sabtu, 23 Maret 2013
Kampung Bugis Muslim di Bali
Masjid
As-Syuhada’
Masjid
As-Syuhada’ merupakan salah satu masjid yang sangat tua, yakni didirikan pada
saat kolonia Belanda, sebelum kemerdekaan Indonesia. Masjid ini terbilang
sangat tua karena penyebar agama disini tidak dibawa oleh walisongo, melainkan
salah satu ulama’ dari makasar. Masjid ini tergolong unik karena mampu berdiri
dan bertahan serta terus berkembang, padahal wilayahnya adalah berdiri di
kawasan orang Hindu. Yakni di kampung bugis, salah satu pulau yang letaknya
dekat dengan Bali. Awalnya pulau ini terpisah dengan Bali, namun pada saat
pemerintahan Soeharto, pulau ini disatukan dengan dibangunnya jembatan laut.
Salah satu alasan dari pemerintah yaitu untuk memperlancar dan mempermudah arus
transportasi.
Sejarah
berdirinya masjid As-Syuhada’
Masjid
As-Syuhada’ didirikan oleh H. Syech
Mu’min, beliau berasal dari daerah Makasar-Ujung Pandang. Beliau berasal
dari keluarga bangsawan, beliau melancong ke daerah lain karena sangat
menentang Kolonial Belanda, yang pada saat itu dibawah kekuasaan VOC. Sehingga
beliau mengasingkan diri dan akhirnya ditemukanlah suatu pulau yaitu Bali
bagian utara kemudian setelah itu beliau bergerak ke selatan. Setealah itu
belau bermukim disana dan bertemulah dengan Raja Badung. Raja itu tahu bahwa H.
Mu’min bukanlah orang sembarangan. Kemudian, raja mengutus prajurit untuk
meminta H. Mu’min untuk tinggal di kerajaan. Akhirnya, H. Mumin menerima ajakan
Raja Badung dan tinggallah beliau di istana. Namun, setelah beberapa bulan
beliau meras sungkan dengan sang Raja, karena beliau di kerajaan tidak melakukan
aktfitas yang bermanfaat. Akhirmya, beliau meminta ijin kepada sang raja untuk
pergi dari kerajaan. Rajapun mengabulkan permintaan beliau.
Raja badung
adalah raja yang sangat bijaksana dan mengayomi masyarakatnya, seperginya dari
kerajaan beliau di beri tanah oleh sang raja seluas 2 hektar, padahal raja
adalah orang Hindu. Kemudian daerah itu di kenal dengan kampung Bugis. Daerah
itu dijadikan sebagai pusat penyebaran agam Islam oleh H. Mu’min. kemudian
H.Mu’min ingin mendirikan masjid di daerah itu, dan meminta izin kepada raja
atas pendirian masjid itu. Akhirnya, raja mengabulkan permintaan H. Mu’min
untuk mendirikan masjid.
Suatu saat,
sang Raja mempunyai kepentingan untuk menaklukkan suatu kerajaan lain untuk
dijadikan sebagai daerah kekuasaanya, yaitu kerajaan mengwi. Namun, raja badung
merasa kewalahan menghadapi mereka, raja sudah
berapa kali melakukan penyerangan dan kalah, karena Raja dan para
prajurit kerajaan mengwi terkenal kebal terhadap benda tajam. Kemudian sang
Raja, meminta bantuan kepada H. Mu’min untuk memimpin serangan terhadap
kerajaan yang akan di taklukkan. Sebagai balas budhi H.Mu’min langsung
menyanggupi permintaan sang raja untuk melakukan serangan.
H. Mu’min
adalah orang yang sangat cerdas dal lincah, dengan siasat dan tak-tik beliau
akhirnya pertempuran itu bisa di menangkan oleh H. Mu’min. Raja meminta kepada
H. Mu’min supaya Raja Mengwi tidak dibunuh, namun H. Mu’min lupa akan pesan
raja. Dan akhirnya H. Mu’min punya siasat, yaitu dengan membawa kepala raja
musuh ke hadapan sang Raja. Dari sini pihak kerajaan sangat berterimakasih
kepada H. Mu’min, dan merasa berhutang budi, sehingga tidak ada permusuhan
antara orang Hindu dan orang Islam. Dari turun temurun kerajaan itu tetap
melanggengkan leluhurnya dan masih mengenal jasa-jasa para pendahulunya.
Keturunan dari kerajaan itu tetap menjaga hubungan yang harmonis dengan orang –
orang dari golongan H. Mu’min.
Di kampung
Bugis, kerukunan antar umat beragama sangat harmonis. Baik Muslim maupun Hindu
tidak pernah ada masalah. Setiap ada acara pernikahan atau khitanan, atau acara
untuk agama Hindu mereka saling mengundang, saling menghormati antar agama dan
bergantian dalam memberikan suguhan makanan. Pasca terjadi bencana Bom Bali,
kampung serangan tetap aman dari terror umat lainnya, berbeda dengan daerah
lainnya.
Adapun jumlah
KK beragama Islam di kampung bugis serangan sekitar 85 KK dengan jumlah jiwa
mencapai 300 orang, perkembangan Islam disana cukup bagus, ada orang Hindu yang
masuk Islam, namun tidak ada orang Islam yang masuk Hindu. Mengenai adat
pernikahan, mereka masih menggunakan adat Bali. Sistem lembaga pendidikan Islam
kejawen, Islam Bugis itu masih Islam murni, di sana ada SMP dan TPQ, tapi
disana belum ada Sekolah Tingkat Atas, namun ada rencana ingin mendirikan Madrasah
guna melengkapi fasilitas pendidikan yang ada.
Respon
Masyarakat Terhadap Agama Islam Di Bugis-Serangan-Bali
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ
النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ * إِلَّا مَنْ رَحِمَ
رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ
جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ ﴿هود؛ 118 - 119﴾
“Jika Tuhanmu menghendaki, tentu
Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih
pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah
Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan:
sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka)
semuanya”. Q.S. Hud: 118-119.
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ
الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ
إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا
وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ ﴿البقرة؛ 133﴾
“Adakah
kamu hadir ketika Yakub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada
anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab:
"Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan
Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”.
Q.S. al-Baqarah: 133.
Kenyataan yang
dihadapi oleh umat manusia hingga hari ini adalah mereka tercipta bukan satu
jenis. Ini artinya, umat manusia dibelahan bumi manapun masih selalu terjaga
keanekaragamannya. Salah satu contohnya adalah Bali. Dengan sedikit menengok
kehidupan masyarakat Bali dan corak keagamaan yang diyakininya, kita banyak
menemukan keunikan didalam nya. Meski demikian, perbedaan tersebut tidak
mengurangi rasa persatuan dan kesatuan sebagai hamba Yang Maha Esa.
Islam sebagai
suatu keyakinan dapat diukur dengan sebuah variable, sejauh mana seorang Muslim
percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.[1]
Hal tersebut tidak terlepas dari tindakan-tindakan yang mengidentifikasikan
bahwa seseorang telah memiliki keyakinan kuat yang tertancap kuat dalam hatinya
bahwa mereka adalah seorang hamba dan juga sekaligus hamba Tuhan Yang Maha Esa
yang berfungsi sebagai khalifahnya di muka bumi (al-Baqarah: 30, Shad: 26,
al-A’raf: 69, 74, al-Naml: 62, al-An’am: 165, Yunus: 14, 73, al-Fathir: 39).
Sehingga, dengan kesempurnaan yang dimilikinya, mereka telah diberi amanat oleh
Tuhan Yang Maha Esa untuk membangun surga di bumi.
Mengingat
peran strategis dari para tokoh agama, perkembangan agama islam di Bugis, Bali
patut diacungi jempol. Hal tersebut dikarenakan, mayoritas masyarakat yang
notabene memeluk agama selain islam turut memberikan kesempatan kepada
masyarakat minoritas. Namun, yang demikian tidak merubah keyakinan mereka.
Karena masyarakat yang satu dengan yang lain saling menyadari akan adanya
keberagamaan keyakinan. Sehingga dalam wilayah tersebutpun terjalin kerukunan
antar umat yang baik.
Dalam hal
ritual wajib, yakni intensitas menjalankan shalat berjama’ah lima waktu dan
puasa pada bulan Ramadhan, yang juga merupakan bagian dari rukun Islam, umat
Muslim Bugis-Bali masih terjaga dengan maksimal. Meski hidup ditengah-tengah
masyarakat non-muslim, mereka tetap menjaga komitmen mereka sebagai seorang
muslim sejati dengan tidak melakukan diskriminasi terhadap pemeluk agama lain.
Serentak
dengan corak faham keagamaan yang dianut oleh masyarakat islam Bugis, sangat
jelas bahwa mereka menganut faham Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah.
Hal ini terlihat jelas melalui sikap dan nilai-nilai yang diamalkan disetiap
aktivitas mereka. Dalam bermu’asyarah dengan masyarakat yang sama amupun beda
agama, mereka tetap mengedepankan nilai-nilai ‘amaliah Ahl al-Sunnah
Wa al-Jama’ah.
Pertama, al-tawassuth yaitu
sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim ke kiri ataupun ke kanan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً
وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ
شَهِيدًا
﴿البقرة؛ 143﴾.
“Dan demikian
(pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu…”. Q.S. al-Baqarah: 143.
Kedua, al-tawazun
yaitu seimbang dalam segala hal, termasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli
maupun naqli[2].
Firman Allah SWT:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا
بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ
النَّاسُ بِالْقِسْطِ ﴿الحديد؛ 25﴾
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab
dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan…” Q.S.
al-Hadid: 25.
Ketiga, al-i’tidal atau tegak lurus.
Firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ
قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴿المائدة؛
8﴾
“Hai orang-orang yang
beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan” Q.S. al-Maidah: 8.
Selain ketiga prinsip ini, golongan
ahl al-sunnah wa al-jama’ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau
toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki
prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan
keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman
Allah SWT:
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا
لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى ﴿طه؛ 44﴾
“Maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut” Q.S. Thaha: 44
Ayat ini
berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s.
agar berkata dan bersikap baik kepada fir’aun. Ketika menjelaskan ayat ini, Ibn
Katsir al-Hafidz (701-774 H/ 1302-1373 M) mengatakan, “sesungguhnya dakwah
Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s. kepada fir’aun adalah menggunakan perkataan
yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih
menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaidah”.[3]
Semisal,
ketika salah satu anggota masyarakat islam memiliki hajat, katakanlah walimah
al-ursy mereka tetap mengundang tetangga sekeliling rumah mereka tanpa
adanya unsur diskriminasi yang terbungkus oleh label agama. Begitupun
sebaliknya dengan masyarakat pemeluk agama selain islam. Langkah-langkah tersebut
mengidentifikasikan bahwa masyarakat islam di wilayah Bugis menjunjung tinggi
nilai-nilai tawassuth, tawazun I’tidal dan tasamuh.
Komitmen
kebersamaan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kebersamaan sebagaimana nilai bineka
tunggal ika, dapat dijadikan sebagai landasan falsafah kehidupan bagi
bangsa Indonesia. Yang mana landasan tersebut harus dibarengi dengan semangat
persatuan dan kesatuan bangsa dan tentunya tidak saja diterapkan pada
situasi-kondisi konflik, akan tetapi lebih jauh dari itu dapat menjadi pendoman
hidup sehari-hari dalam mengatasi problem sosial, ekonomi dan politik yang
kerap muncul ditengah-tengah dinamika kehidupan sosial. Rasa selunglung sabayantaka,
dimana bumi dipijak disana langit dijunjung menjadi landasan berpikir bagi
setiap insan sosial untuk selalu menghormati nilai-nilai kearifan lokal seraya
menjadikannya sebagai pedoman bersama dalam kehidupan sosial. Apabila hal ini
sudah menjadi “milik” bersama masyarakat tanpa memandang suku, ras, agama dan antar
golongan dalam kehidupan kolektif niscaya keserasian dan harmonisasi sosial
dapat menjadi bagian dari indahnya kehidupan bersama. Pusparagam suku, ras,
agama, adat istiadat merupakan untaian kekayaan yang tak ternilai, perlu terus
dijaga, dilindungi dan dikembangkan sebagai fondasi membangun karakter bangsa
yang multicultur, satu dalam perbedaan dan berbeda dalam kesatuan.
Dalam tataran
praktis, sebagaimana dijelaskan K.H. Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini
dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut:[4]
1)
Akidah
a)
Keseimbangan dalam penggunan dalil
‘aqli dan naqli;
b)
Memurnikan akidah dari pengaruh
luar islam;
c)
Tidak gampang menilai salah atau
menjatuhkan vonis syirik, bid’ah apalagi kafir.
2)
Syari’ah
a)
Berpegang teguh pada al-Qur’an
dan al-Hadits dengan menggunakan metode
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah;
b)
Akal baru dapat digunakan pada
masalah yang tidak ada nash yang jelas (sharih / qoth’i);
c)
Dapat menerima perbedaan pendapat
dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (dzhanny).
3)
Tashawwuf / Akhlaq
a)
Tidak mencegah, bahkan menganjurkan
usaha memperdalam penghayatan ajaran islam, selama menggunakan cara-cara yang
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum islam;
b)
Mencegah sikap berlebihan (ghuluw)
dalam menilai sesuatu;
c)
Berpedoman kepada akhlak yang
luhur.[5]
4)
Pergaulan antar golongan
a)
Mengakui watak manusia yang senang
berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing;
b)
Mengembangkan toleransi kepada
kelompok yang berbeda;
c)
Pergaulan antar golongan harus atas
dasar saling menghormati dan menghargai;
5)
Kehidupan bernegara
a)
NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh
komponen bangsa;
b)
Selalu patuh dan taat kepada
pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan
ajaran agama;[6]
c)
Tidak melakukan pemberontakan atau
kudeta kepada pemerintah yang sah;
d)
Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan
maka mengingatkannya dengan cara yang baik.
6)
Kebudayaan
a)
Kebudayaan harus ditempatkan pada
kedudukan yang wajar;[7]
b)
Dapat menerima budaya baru yang
baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-muchafadzatu ‘ala
al-qadimi al-shalih bi al-jadid al-ashlach).[8]
7)
Dakwah
a)
Berdakwah bukan untuk menghukum
atau memberi vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang
diridloi Allah SWT;
b)
Berdakwah dilakukan dengan tujuan
dan sasaran yang jelas;
c)
Dakwah dilakukan dengan petunjuk
yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan
sasaran dakwah.
REFERENSI
Miskawaih,
Ibn. Menuju Kesempurnaan Akhlak, buku daras pertama tentang filsafat etika
(terj. Tahdzib al-Akhlaq). 1994. Bandung: Mizan.
Jamhari.
Jahroni, Jajang. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. 2004. Jakarta:
Rajawali Press.
Gunawan,
Restu. 2008. Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan dan Karya Sastra.
Makalah disampaikan dalam Kongres Bahasa, Tanggal 28-31 Oktober 2008, di Jakarta.
Tim
Sintesis Kebijakan, Perspektif Kearifan Budaya Lokal dalam Pemanfaatan Lahan
Gambut untuk Pertanian, www.Wikapedia.com.
[2] Yang dimaksud dengan dalil ‘aqli adalah
dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional. Adapun dalil naqli merupakan
dalil yang besumber dari al-Qur’an al-Karim dan al-Hadits al-Syarif.
[5] Terkait dengan akhlak yang luhur
ibn maskawaih mengatakan bahwa akhlah adalah sesuatu yang diambil dari hasil
nilai tengah. Misalnya: sikap al-syaja’ah atau berani merupakan niali
tengah antara penakut dan ngawur atau sembrono, sikap tawadlu’ adalah
nilai tengah antara sombong dan rendah diri, sikap dermawan merupakan hasil
nilai tengah antara kikir dan boros. Lihat: Menuju Kesempurnaan Akhlah (terj).
Hlm: 51.
[6] Terkait dengan masalah ini,
Rosulullah SAW menjelaskan dalam hadits-Nya:
“tiada ketaatan terhadap suatu makhluk dalam
hal kemaksiatan kepada Sang Khaliq”.
[7] Wajar disini dimaksudkan agar
suatu kebudayaan dinilai dan diukur sesuai dengan norma dan hokum agama secara
proporsional.
[8]
Kebudayaan yang baik dan tidak bertentangan
dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik
harus ditinggal.
CAH AYU SHOP [OLEH – OLEH KHAS BALI]
Laporan buat KKL Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Tahun 2013
CAH AYU SHOP [OLEH – OLEH KHAS
BALI]
A.
Sejarah
Berdirinya Cah Ayu Shop
Pulau
Bali yang sudah terkenal diseluruh penjuru dunia dengan budaya dan alamnya yang
indah lestari yang masih penuh dengan rangkaian upacara yang sangat
disakralkan, sehingga menjadi salah satu tujuan wisata dunia yang mendapat
kunjungan wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. Untuk memenuhi
kebutuhan cinderamata dan oleh-oleh yang mempunyai ciri-ciri khas Bali
diperlukan pusat oleh-oleh yang memenuhi syarat bukan hanya kelengkapan jenis
barangnya saja tapi juga mudah pencapainya dan punya fasilitas parkir yang
cukup luas dan nyaman untuk berbelanja.
Berbicara
mengenai oleh-oleh di pulau Bali akan sangat tepat apabila kita dapat
mengunjungi Pusat Oleh-Oleh Cah Ayu R27 yang berada di jalur pariwisata desa
Batu-Bulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, selain mudah mencapainya
juga mempunyai banyak pilihan barang dan akan dilayani dengan staf yang ramah.
Selain itu Pusat Oleh-Oleh Cah Ayu R27 adalah YANG PERTAMA DAN TERPERCAYA
karena sudah mendapat Certificate Halal dari MUI. (Majelis Ulama Indonesia).
Cah
Ayu R27 dirintis oleh Bapak Robani yang berasal dari keluarga yang sederhana
yang lahir dari desa kecil yang sejuk dan subur tanahnya di lereng gunung
Merbabu kabupaten Magelang. Dengan bekal tekad dan semangat serta doa restu
dari kedua orang tuanya. Diawal tahun 1990an, beliau meninggalkan kampung
halaman guna mencoba meraih impian di Pulau Bali. Adapun tujuan awal beliau
adalah ke Banyuwangi menemui saudaranya, namun karena luasnya kota Banyuwangi,
beliau tidak menemukan saudara yang dicarinya. Walhasil beliau memutuskan untuk
menyeberangi lautan menuju pulau Bali.
Di
Bali, pada awalnya Robani muda, mendapat pekerjaan sebagai seorang pembantu
Rumah Tangga dan pada malam harinya beraktivitas di Rumah Sakit di Denpasar
sebagai petugas Penjaga kamar mayat, bahkan memandikan mayatpun dijalaninya.
Dengan berjalannya waktu, Robani muda yang penuh semangat dan impian besarnya
mencoba berbagai pekerjaan dan usaha kecil lainnya mulai dari berjualan Sayur
mayur, Mie ayam, Bakso, Jamu, Lampu dan sebagainya dengan menggunakan gerobak
dorong dan sepeda onthel kesayangannya.
Pengalaman
pahit yang memacu pemberontakan semangat untuk berubah adalah pada saat menjual
kacang asin Bali sebagai pengasong (penjual makanan kecil yang menjajakan
jualannya kepada wisatawan) yang pada suatu saat dikejar-kejar Polisi dan Tibum
(polisi ketertiban umum). Dan pada saat itulah muncul tekad untuk menjadi
pengusaha kacang asin yang bisa membantu orang-orang senasib.
Dengan
menerapkan teori “THE POWER OF KEPHEPHET” dan ditempuh dengan proses panjang, keuletan,
kegigihan, dan disertai dengan doa yang tiada henti maka pada tanggal 27
September 2002 dibukalah “PUSAT OLEH-OLEH CAH AYU” di Desa Celuk dan menjadi
satu-satunya tempat wisata belanja yang PERTAMA DAN TERPERCAYA. Inspirasi nama
“Cah Ayu” yang ia lekatkan pada nama outlet dan setiap produknya, ia peroleh
dari lagunya Waljinah yang berbunyi, yen
neng tawang ono lintang cah ayu. Selain itu menurutnya setiap produk yang
berhubungan dengan wanita akan membawa image positif bagi pendengarnya, seperti
kata “Cah Ayu” ini.
Pada
perkembangannya PUSAT OLEH-OLEH CAH AYU yang dikunjungi banyak wisman dan wisnu
sehingga mempunyai dampak positif bagi masyarakat sekitar, karena bisa
menyediakan lapangan kerja baru dan menggerakkan roda ekonomi kerakyatan yang
bisa menampung produk kerajinan masyarakat dan pada akhirnya bisa menambah
pemasukan PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kabupaten Gianyar dan Provinsi Bali pada
umumnya.
Cah
Ayu R27 yang sekarang sudah berkembang dan akan terus mengembangkan inovasi
baru untuk meningkatkan pelayanan kepada Wisatawan. Pada saat ini Bapak Robani
sudah ratusan kali menjadi Motivator Kewirausahaan sampai diundang di beberapa
Universitas/Perguruan Tinggi/Institusi pendidikan ternama di Solo, Jogja,
Semarang, Malang, Jakarta, Banjarmasin, dan kota-kota besar lain di luar Jawa,
sebagai Dosen Tamu, untuk mata kuliah Kewirausahaan.
-
Peran
Ilmu – ilmu Keushuluddinan dalam Dunia Bisnis
Sebagai Mahasiswa Fakultas Ushuluddin yang mendapat ilmu keushuluddinan, tentunya
dalam berbisnis sangat diperlukan. Dari ajaran tasawuf sendiri diajarkan untuk
zuhud, tidak merasa memiliki dan dimiliki dunia. Ini aplikasinya adalah ketika
terdapat pasang surut dalam melakukan usaha, tidak menjadikan kita sebagai
seorang muslim jauh dari Tuhan (putus asa) atau lupa karena terlena dengan
kesenangan duniawi. Amalan – amalan
seperti sholat tahajjud, sholat dhuha serta berdo’a yang kuat, meminta kepada
Allah supaya selalu diberi kelancaran dalam usahanya.
Menjaga produk – produk yang dijual dari hal – hal yang
bersifat haram.
Baginya
segala inspirasi diperoleh dengan cara hijrah, iqra’, dan sedekah. Mengikuti
teladan dari Rasulullah Muhammad SAW, menjadikannya mengembangkan sifat-sifat
sebagaimana yang Rasulullah miliki. Baginya sifat Rasulullah yakni sifat
siddiq, amanah, tabliqh, dan fatonah merupakan sifat yang wajib dimiliki bagi
seorang pedagang. Saat hijrahlah ia mampu membaca. Tidak hanya dari buku, namun
yang lebih utama ialah membaca fenomena yang ada guna mendapatkan peluang
usaha. Namun baginya, keduanya hendaklah dilengkapi dengan sedekah berbagi
kebahagiaan dengan sesama. Ini merupakan kunci sukses, yang dapat diperoleh
tidak hanya dengan ketekunan dan usaha yang gigih serta meninggalkan sifat
ragu-ragu saja. Akan tetapi baginya dapat diperoleh melalui do’a, yakni do’a
kedua orang tua, do’a guru, dan do’a sang istri.
Setelah
kami memperoleh informasi dari narasumber yang sekaligus owner Cah Ayu Shop itu
sendiri, maka bisa dikatakan bahwa beliau merupakan sosok teladan yang perlu
ditiru. Beliau tidak hanya berkecimpung dalam masalah duniawi saja, namun juga
ukhrowinya tidak ketinggalan. Keseimbangan dalam muamalah, baik yang
berhubungan dengan manusia ataupun Rabbnya menjadi hal yang dominan dalam
berbisnis. Maka tak heran jika usaha beliau dalam menjalani bisnis kacang asin
sampai saat ini mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Tentu kesuksesan
beliau ini tidak diraih begitu saja tanpa ada kendala, namun juga beliau
mengalami kegagalan di fase – fase awal, apalagi pasca bom Bali di tahun 2002.
Ini menjadi contoh bagi kita untuk tidak mudah menyerah dan juga tidak mudah
cukup, namun semua itu juga harus dibarengi dengan rasa syukur kepada Yang
Kuasa.
Dari
beberapa catatan diatas sangat berhubungan dengan beberapa ayat di bawah,
antara lain:
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ
وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا
وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Artinya:
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: “Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”.
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi:110)
Dalam
ayat ini Allah akan menigkatkan derajat orang yang mencari ilmu dan juga Dia
akan memberikan ganjaran bagi orang yang mau bekerja, yaitu berjumpa
dengan-Nya.
Allah
berfirman:
فَإِذَا
قُضِيَتْ الصَّلاَةُ فَانتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya:
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
(QS. al-Jumu’ah: 10)
Tidak
hanya urusan dunia saja, namun juga akherat agar mendapatkan Ridha dan
Keberkahan dari-Nya.
-
Proses
Pembuatan Kacang Asin
Dalam
membuat kacang asin ini ada beberapa tahap, antara lain :
·
Tahap pertama :
proses sortir bahan.
Ini
merupakan proses penyortiran bahan yang merupakan langkah awal dan juga sebagai
salah satu penentu kwalitas dan rasa dari kacang tersebut. Penyortiran ini
sangat mempengaruhi hasil akhir dari proses penyaringan kacang tersebut.
·
Tahap kedua : proses
perendaman.
Kacang
yang sudah dipilih ataupun disortir akan direndam terlebih dahulu dengan tujuan
untuk membersuhkan debu atau kotoran yang menempel pada kacang saat pengupasan
dan juga untuk membersihkan sisa getah yang masih menempel pada kacang tersebut.
·
Tahap ketiga :
proses pencampuran bumbu.
Setelah
direndam, maka kacang tersebut ditiriskan kemudian dicampur dengan bawang putih
yang sudah dihaluskan dan dicampur dengan sedikit garam dengan komposisi
sebagai berikut :
100kg
kacang : 3kg bawang putih : 3kg garam, setelah itu dibiarkan selama 12 jam dan
diaduk sampai tercampur rata.
·
Tahap kempat :
penjemuran / pengeringan.
Kacang
yang telah tercampur dengan bumbu dan telah didiamkan hingga bumbu merasuk,
kemudian dijemur di bawah matahari selama 5 - 6 jam atau sampai setengah
kering.
·
Tahap kelima :
penggorengan
Proses
ini bisa dibilang unik karena dalam menggoreng kacang ini tidak menggunakan
minyak goring seperti pada umumnya, akan tetapi menggunakan pasir laut yang
berasal dari pantai klungkung yang telah melalui proses sterilisasi terlebih
dahulu sehingga hygenis serta layak
untuk menggoreng. Dalam penggorengan ini tidak perlu menyalakan api terlalu
besar untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Pada proses ini diperlukan tenaga
ahli yag sudah berpengalaman dalam mengolah kacang asin ini.
·
Tahap keenam :
penyeleksian
Kacang
yang sudah matang tidak begitu saja dikemas, tapi akan diseleksi terlebih
dahulu antara kacang yang layak dipasarkan dengan yang tidak layak, sehingga
kwalitas kacang dapat dipertanggungjawabkan. Adapun kacang yag dibawah
standarisasi kacang asin bali akan dimanfaatkan untuk bumbu masak atau pecel ataupun
pakan ternak.
·
Tahap akhir :
pengemasan
Pada
proses finishing pembuatan kacang ini akan dikemas dengan teliti sesuai ukuran
berat seperti yang tertera dalam kemasan, kemudian dipasarkan di outlet Cah Ayu
R27.
RELEVANSI
KEUSHULUDDINAN
Berbagai
cabang keilmuan yang terdapat di Ushuluddin sangat berperan dalam berbagai
urusan dunia. Beberapa di antaranya tentang entrepreneurship yang juga ada
kaitannya dengan bisnis usaha yang ada di Cah Ayu Shop. Berusaha dan bekerja
merupakan anjuran agama dan larangan putus asa bagi orang yang gagal dalam
menjalankan usahanya. Namun, dalam berusaha juga harus dibarengi dengan do’a.
Dalam artian seseorang tidak boleh mengurusi dunianya saja tanpa mempedulikan
akhirat. Oleh karena itu, kunci sukses dalam menjalankan usaha tidak lepas dari
kerja keras dan berdo’a dengan menjalankan semua yang diperintahkan Tuhan dan
menjauhi larangan-Nya. Keseimbangan antara hablun
minalah dan hablun minan annas.
Disamping
entrepreneurship juga ada kerukunan antar umat beragama. Tentu kita tahu bahwa
semua agama mengajarkan kebenaran. Sikap toleran, saling membantu antar sesama
demi kebaikan bersama sangat dianjurkan. Semua itu dikarenakan manusia
merupakan makhluk social yang tentunya tidak bisa hidup tanpa bantuan orang
lain. Saling mengenalkan diri tanpa ada rasa saling membenci antar sesama dan
juga saling menghormati.
Islam
tidak pernah mengajarkan kekerasan karena merupakan agama yang rahmatan lil ‘alamien. Banyak orang
melakukan kekerasan disebabkan kekeliruan mereka dalam menafsiri ayat – ayat
Al-Qur’an. Tidak sedikit dari mereka yang menafsirinya dengan tekstual tanpa
memahami makna yang tersirat. Ini merupakan kesalahan besar bagi mereka yang
hanya memahami kata demi kata tanpa mengetahui isi yang sebenarnya.
Pondok Pesantren Raudhatul Huffadz Kediri - Tabanan - Bali
Laporan buat KKL Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang Tahun 2013
PONPES
RAUDLATUL HUFFADZ
Raudlatul
Huffadz merupakan salah satu dari beberapa Pondok Pesantren (PonPes) yang ada
di Pulau Bali. Pondok ini didirikan oleh KH. Noor Hadi, seorang muslim asal
Demak, Jawa Tengah dan terletak di Jl. A. Yani, Gg. Kamboja 1/04, Kecamatan
Kediri, Tabanan, Bali. Pesantren yang berdiri di tengah-tengah penduduk yang
notabene mayoritas non-muslim ini memfokuskan pada penghafalan al-Qur’an
disamping ilmu-ilmu agama lainnya.
Sebagai pondok
yang berdiri di tengah mayoritas penduduk beragama hindu ini, tentu banyak sisi
menarik yang layak untuk diungkap. Baik dari sisi sejarah berdirinya sampai
peran dan langkah-langkah hingga mampu eksis di tengah kepungan kepercayaan
agama lain.
Sejarah dan
latar belakang berdirinya pondok pesantren ini bermula dari keinginan beliau
Noor Hadi untuk berdakwah dan mendirikan pesantren di Bali. Pada tahun 1979,
beliau dengan hanya bermodalkan hafalan al-Qur’an berangkat memasuki Pulau
Dewata. Bapak yang juga warga Nahdlatul Ulama’ (NU) ini terdampar di sebuah
mushala di Tabanan ketika pertama kali menjejakkan kaki di Bali. Sebagai
seorang musafir yang baru pertama kali datang ke Bali, hal yang pertama
kali dilakukan adalah mencari tempat tinggal. Dengan kemampuan hafal al-Qur’an
yang dimilikinya, dia berhasil meyakinkan penduduk setempat dan diperbolehkan
tinggal di mushala tersebut.
Di daerah yang
terletak di Jl. A. Yani ini lah nantinya dia memulai perjuangan mendirikan
Pondok Pesantren. Hal yang pertama kali dia lakukan sesampainya di Bali adalah
mencari teman-teman seperjuangan yang ada di Bali. Bersama enam orang lainnya
dia memulai usaha dakwahnya berawal dari daerah sekitar Kabupaten Tabanan.
Kabupaten
Tabanan sendiri memiliki jumlah penduduk sebanyak 350.000 Kepala Keluarga (KK).
Dari jumlah tersebut hanya sekitar 5.000 KK yang beragama islam. Dengan kata
lain, Noor Hadi berdakwah di daerah yang notabene mayoritas penduduknya
beragama non islam, sebagian besar Hindu. Tabanan sendiri terbagi ke dalam
delapan (8) kecamatan, yang mana dari setiap kecamatan sebenarnya sudah
terdapat satu buah mushala. Hanya satu kecamatan saja yang belum ada
mushalanya. Namun, kondisi mushala tersebut bagaikan hidup segan mati tak mau.
Hal ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi Noor Hadi.
Beranjak dari
itu lah, Noor Hadi beserta enam temannya mempunyai inisiatif untuk mengadakan kegiatan
keagamaan (pengajian, red) di delapan kecamatan tersebut. Dari sini lah beliau
menemui hambatan pertamanya. Berawal dari pelaksanaan pengajian di satu
kecamatan yang belum ada mushalanya itu, Noor Hadi dkk yang menyewa tempat di
sebuah ruko pasar mendapatkan perlawanan dari orang-orang setempat. Beliau
beserta jamaah mendapatkan lemparan batu agar dengan segera membubarkan
kegiatan tersebut. Hal ini tidak terlepas dari penduduk setempat yang memang
anti terhadap kegiatan berbau agama.
Untuk hal-hal
semacam tadi penduduk memang masih sangat sensitive. Namun untuk hubungan
social dalam kehidupan sehari-hari, penduduknya terkenal ramah dan baik hati
tanpa memandang agama orang lain. Hal ini dibuktikan dari pengalaman Noor Hadi
ketika saling bertegur sapa dengan penduduk sekitar. Setiap kali bertemu dia
selalu disapa dengan sapaan yang sangat ramah, seperti (mau kemana?, red) lalu
disambung dengan (mampir, makan-makan dulu, red).
Keramahan
tersebut tetap terjaga hingga terjadi peristiwa yang menggegerkan Indonesia,
bahkan dunia, yaitu dua kali peristiwa bom Bali. Peristiwa bom Bali yang
digawangi oleh Amrozi dkk itu tidak hanya melululantahkan bangunan-bangunan di
Bali tapi juga kerukunan hidup antar umat beragama yang telah lama terjaga.
Setelah
peristiwa bom Bali itu umat islam mendapatkan banyak pandangan negative. Umat
islam yang dulu hidup damai dengan umat agama lain, kini dianggap sebagai
teroris yang sewaktu-waktu siap untuk meledakkan bom. Umat islam di Bali
menjadi tidak nyaman untuk beraktivitas karena selalu mendapat kecurigaan.
Kehidupan ekonomi baik umat islam maupun umat agama lain juga jatuh. Banyak
umat islam yang dulu sudah mapan ekonominya waktu itu harus kocar kacir
dan balik ke kampung halaman.
Hal ini sangat
disayangkan oleh Noor Hadi dan bertekad untuk memperbaikinya. Untuk
merealisasikan keinginannya tersebut, langkah awal yang dilakukan oleh Hadi
adalah mengembalikan perekonomian umat islam. Hal ini bertujuan agar kalau umat
islam sudah mapan, maka kegiatan syi’ar islam akan lebih mudah untuk
diwujudkan. Ini tidak terlepas dari kondisi umat islam Bali yang memang
“rendah” tingkat ekonominya bila dibandingkan dengan umat Hindu. Usaha yang
direncanakannya itu menuai hasil setelah mendapatkan dukungan dari Gubernur
setempat pada waktu itu yang memang secara kebetulan juga beragama islam.
Langkah yang beliau
ambil ini tidak terlepas dari semangat dan motivasi beliau untuk menyi’arkan
islam dan mendirikan PonPes di Bali yang notabene jauh berbeda dari kultur
islam, baik dari segi budaya, agama, dan etnic. Namun, Noor Hadi yang diliputi
semangat al-Qur’an berkeyakinan bahwa hanya al-Qur’an lah yang mampu menembus
semua perbedaan yang ada, karena di dalam al-Qur’an tidak terdapat suatu
perbedaan. Hanya al-Qur’an lah yang mampu menyelesaikan semua perbedaan yang
ada. Hal ini sebagaimana ayat al-Qur’an yang berbunyi ............فان
تنازعتم في شيئ فردوه الى الله ....الأية (QS. An-Nisa’: 59).
Dengan
semangat al-Qur’an tersebut, keinginan beliau untuk mendirikan pondok pesantren
di Bali semakin menggebu. Ditambah lagi dengan adanya dorongan dari guru
beliau, yaitu Kyai Arwani, Kudus, agar dia mendirikan sebuah pondok dan diberi
nama Raudlatul Huffadz. Bangunan pertama kali pondok ini didirikan di atas
sebidang tanah dengan ukuran 3x4 meter2 yang beliau beli sendiri.
Pada masa-masa awal, beliau mengajar sendiri dengan murid seadanya serta tidur
bersama di lantai bangunan yang sempit itu.
Setelah pondok
berdiri, keinginan beliau selanjutnya adalah membangun sebuah masjid. Namun
dalam langkahnya menemui berbagai kendala. Mulai dari adanya Peraturan Daerah yang
mengharuskan setiap pendirian tempat ibadah harus ada komunitas paling sedikit
60 KK hingga 100 KK dan disyaratkan harus sebagai pemilik tanah yang diakui
sebagai penduduk dibuktikan dengan menunjukkan KTP. Ditambah lagi dengan mengingat
kondisi umat islam Bali jarang ada yang memiliki tanah sendiri. Jangankan untuk
wakaf masjid, untuk kebutuhan sendiri saja sudah susah. Maka untuk mensiasati
hal tersebut, maka dicetuskan rencana untuk saling lelang dan iuran di antara
warga guna pembangunan masjid.
Selain itu
dalam rangka memudahkan dakwanya, dia bersama enam orang temannya tadi yang
kebetulan sama-sama warga NU, membentuk suatu badan kepengurusan dengan tanpa
Surat Keputusan (SK) dari PBNU. Beliau mengangkat diri sebagai Rais Suriah
waktu itu. Namun dalam perkembangannya nanti beliau ditetapkan Rais Suriah
terlama mulai dari 1980-sekarang.
Dalam usahanya
satu ini juga tidak terlepas dari berbagai kendala. Diantaranya adalah ketika
mendapatkan undangan untuk menghadiri dua muktamar, Situbondo dan Yogya, mereka
dilarang masuk karena tidak memiliki SK. Puncaknya adalah ketika menjelang
muktamar di Pasuruan. Waktu itu pengurus PBNU membawa surat yang isinya tentang
pembekuan NU Bali. Namun, dengan segala upaya akhirnya kini NU Bali sudah
diakui dan Noor Hadi ditetapkan sebagai Rais Suriah terlama.
Selain
menjabat sebagai Rais Suriah, beliau juga mengasuh dan mengembangkan eksistensi
PonPes Raudlatul Huffazh miliknya. Salah satu yang menjadi concern
beliau adalah penghafalan al-Qur’an dengan berbagai metodenya. Adapun metode
yang dikembangkan beliau dalam pondok ini terdiri dari berbagai macam. Pertama,
istiqamah, artinya para santri harus menyediakan waktu-waktu tertentu untuk
“bercumbu” dengan al-Qur’an. Kedua, menulis, artinya santri selain
menghafal juga harus mampu untuk menuliskan apa yang telah dihafalnya. Ini
untuk mempermudah mengingat hafalan. Hal ini juga dilatarbelakangi keprihatinan
beliau yang menyaksikan banyaknya anak muda sekarang yang tidak bisa menulis
arab, baik yang lulusan aliyah maupun pesantren. Terakhir adalah ketelitian
terhadap tanda waqaf (tempat berhenti baca). Beliau akan menyalahkan bacaan
santri apabila dia salah dalam me-waqaf-kan bacaannya. Hal ini berguna
untuk menghindari adanya salah pemaknaan dalam menafsirkan al-Qur’an. Ini
karena banyaknya orang yang salah dalam menafsirkan al-Qur’an.
Beliau juga menyayangkan
orang-orang yang memahami al-Qur’an secara tekstual. Pernah suatu ketika ada
orang beranggapan bahwa shalat dengan sambil berjalan ataupun berkendara itu
boleh. Hal ini berdasarkan pemahaman harfiyah terhadap ayat 236 dalam
surat al-Baqarah. Ini merupakan bencana, yang karena keterbatasan pemikiran
sendiri sehingga al-Qur’an menjadi begitu sempit cakupannya. Beliau juga
mengungkapkan hadits yang berarti bahwa menafsirkan al-Qur’an dengan akal
(ra’yi) adalah hal yang salah.
Hal ini tidak
terlepas dari penyayangan beliau terhadap tindakan para teroris, seperti Amrozi
dkk, yang mengatasnamakan agama dalam segala aksi mereka. Mereka beralasan
dengan dalih jihad fi sabilillah serta sering menggunakan dalil-dalil
agama. Sebagaimana dalil yang diklaim
oleh para teroris untuk melegalkan tindakan mereka, yang berbunyi fal yughayyirhu
biyadihi. Beliau mengatakan bahwa secara logika memang tidak salah, namun
di dalam prakteknya terjadi kekeliruan. Karena banyak umat islam juga yang
menjadi korban dari tindakan mereka.
Maka dari itu
beliau menyarankan kepada para mahasiswa agar melakukan pemahaman terhadap
al-Quran dengan benar. Agar para mahasiswa memberikan pemahaman yang benar
kepada masyarakat yang tidak tahu. Hal ini agar masyarakat tidak terseret oleh
pemahaman orang-orang yang tidak bisa memahami al-Qur’an secara benar.
Analisa
Apa yang
dilakukan oleh KH. Noor Hadi dalam rangka mewujudkan cita-citanya—mendirikan
pondok guna syi’ar islam—pada dasarnya sama dengan apa yang telah dilakukan
rasulullah saw dahulu kala. Sebagai strategi dakwa beliau dalam menegakkan
agama Allah, rasulullah melakukan hijrah dari Makkah menuju Madinah. Langkah
tersebut diambil oleh beliau karena pada waktu itu selama di Makkah beliau
mendapatkan banyak rintangan dan siksaan yang begitu berat, bahkan oleh
kerabatnya sendiri.
Beliau yang
telah mengalami banyak kesedihan selama berdakwa di Mekkah diperintahkan oleh
Allah swt untuk berhijrah ke Madinah. Perintah hijrah ini semata-mata bukan
menunjukkan kegagalan Muhammad dalam mengajak orang-orang agar masuk islam.
Tetapi justru sebaliknya, yaitu untuk menghibur diri rasulullah dan menunjukkan
kebesaran Allah swt. Hal ini tercermin dalam surat al-Fath yang menerangkan akan
keberhasilan yang dicapai oleh rasulullah saw dalam peristiwa fath makkah.
Menurut Ibnu Taimiyyah ayat tersebut diturunkan untuk menghibur dan membesarkan
hati Nabi.[1]
Dalam hal ini
KH. Noor Hadi telah meniru apa yang dilakukan rasulullah. Hijrah untuk mencapai
kesuksesan. Bila kita cermati apa yang terjadi pada rasulullah dan KH. Noor
Hadi nyata berbeda kondisinya. Rasulullah saw hijrah dari tempat dimana ia
mendapatkan banyak cobaan (Mekkah) menuju tempat yang relative nyaman
(Madinah). Sementara Noor Hadi berhijrah dari tempat yang sebaliknya dari
rasulullah. Dia berpindah dari tempat yang relative enak (Demak) menuju tempat
dimana dia akan mendapatkan banyak ujian (Bali). Sebagaimana yang dia katakan,
bahwa sebenarnya dia sudah punya “keramat” di Demak bersama orang tuanya. Namun
karena dia bukan tipe orang yang suka “keramat gandul”, maka dia memutuskan
untuk berpetualang ke Bali. Akan tetapi sebenarnya pada dasarnya apa yang
berdua lakukan adalah sama, yaitu berhijrah.
Di samping itu
juga keyakinan yang beliau pegang ketika berjirah bahwa al-Qur’an akan mampu
menembus kemana-mana dan tidak ada perbedaan di dalamnya juga turut membantu
kesuksesan Noor Hadi. Mengingat di Bali memang terdapat begitu banyak perbedaan
mulai dari etnic, agama, ras, budaya dan kepercayaan. Namun, semua perselisihan
atau perbedaan tersebut bila dikembalikan pada Allah swt dalam hal ini melalui
firman-firman-Nya (al-Qur’an), maka akan mendapatkan jalan keluar yang terbaik.
Sebagaimana firman-Nya QS. Al-Nisa’ 59:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Beranjak pada metode hafalan
al-Qur’an yang selama ini dikembangkan di pondok pesantren Raudlatul Huffazh,
yaitu istiqamah, menulis, dan pembenaran waqaf. Dari ketiga metode tersebut
yang paling berbeda dan khas dibandingkan dengan pondok pesantren lainnya
adalah metode menuliskan hafalan. Disamping sebagai cara untuk mendidik para
santri supaya bisa menulis arab, menurut Noor Hadi cara ini juga mampu
menguatkan ingatan hafalan para santri. Dan ternyata memang benar adanya.
Metode
menuliskan hafalan juga telah diterapkan oleh rasulullah dan para sahabatnya sejak
dahulu. Tiap kali rasulullah menerima wahyu maka secara langsung beliau
menyuruh para sahabatnya untuk menghafal dan menuliskannya. Hal ini guna untuk
memelihara makna-makna kandungannya dan menjaga kebenaran hafalan mereka. Cara
ini juga bermanfaat ketika hendak menafsirkan al-Qur’an. Apabila ada yang salah
dalam menafsirkan maknanya, akan ada orang-orang yang meluruskan kesalahan
tersebut.[2]
Sebenarnya
dari ketiga metode hafalan tersebut, dua yang terakhir—menulis dan waqaf—secara
tidak langsung ditujukan untuk membantu dalam menafsirkan al-Qur’an secara
benar. Beliau, Noor Hadi tidak ingin santrinya salah dalam menafsirkan kalam
Allah itu. Terlebih apabila penafsirannya itu dilakukan secara tekstual dan
hanya berdasarkan akal saja.
Sebenarnya
istilah “tafsir tekstual” itu tidak dikenal dalam ilmu tafsir. Namun, istilah
ini telah dikenalkan sejak kemunculan metode tafsir, seperti tahlili, mujmal
ataupun maudlu’i. Ini tergantung pada tujuan penemuan makna al-Qur’an
itu sendiri, apakah secara tekstual atau kontekstual.[3]
Maka dari itu, penganut aliran ini akan memaknai al-Qur’an sesuai dengan apa
yang ada dalam teks, tanpa mempertimbangkan sumber hukum lainnya, seperti
hadits.
Bagi orang
yang menganut tafsir tekstual ini beranggapan bahwa al-Qur’an adalah
satu-satunya sumber kebenaran yang tunggal dan mutlak. Kemutlakannya ini
berlaku untuk semua situasi dan kondisi.[4]
Meminjam
istilah fiqhiyah, tafsir tekstual berarti melakukan pemaknaan terhadap
al-Qur’an berdasarkan apa yang tampak secara lahiriah. Dalam sejarah fiqh
aliran ini dipelopori oleh aliran zahiriah. Aliran ini berpegang pada
tiga prinsip dasar: pertama, keharusan untuk berpegang pada lahiriah
teks dan hanya boleh dilampaui dengan zahir lainnya. Kedua,
maksud sebenarnya dari teks adalah apa yang terdapat pada zahir nya,
bukan pada penalaran teks yang mendalam. Ketiga, merupakan sebuah
kesalahan apabila mencari alasan di balik penetapan syari’at.[5]
Inilah mengapa tidak jarang ada pihak yang menetapkan hukum sesuai apa adanya
teks tersebut meskipun situasi dan kondisinya tidak tepat sama sekali.
Atas dasar
itu, seharusnya umat islam membutuhkan suatu tafsir yang sistematis, yang mampu
berlaku adil terhadap al-Qur’an dan menyeluruh. Dalam hal ini yang dimaksud
adalah tafsir kontekstual. Kata kunci dari aliran ini adalah “akar sejarah”.
Gagasan ini muncul dari keprihatinan terhadap penampilan tafsir al-Qur’an yang
ada selama ini. Menurut Fazlur Rahman, sebagai penggagas tafsir kontekstual,
tafsir-tafsir yang selama ini ada hanya menghasilkan pemahaman yang sepotong
(parsial).[6]
Aliran tafsir
inilah yang seharusnya banyak digunakan dan dikembangkan oleh umat islam. Dan
mungkin ini juga lah yang dikehendaki oleh KH. Noor Hadi bagi santri-santrinya
dalam menggali makna al-Qur’an. Tafsir tekstual ini lah yang sebenarnya sesuai
untuk menafsirkan al-Qur’an pada kehidupan saat ini. Karena dengan
kontekstualisasi al-Qur’an tujuan dari al-Qur’an yang shalih li kulli zaman
wa makan dapat tercapai. Dengan bertolak dari asbab al-nuzul dan
konteks sejarah diturunkannya ayat, yang dalam bahasa Rahman untuk mencari moral
idea.
Selain tafsir
tekstual, Noor hadi juga menyayangkan orang-orang yang menafsirkan al-Qur’an
dengan akalnya. Beliau mengatakan yang karena keterbatasan akal manusia,
al-Qur’an menjadi terlihat sempit. Menurut beliau penafsiran dengan ra’yi
adalah penafsiran yang salah.
Sementara itu,
tafsir bi al-ra’yi menurut al-Dzahabi ialah metode penafsiran yang
menggunakan ijtihad setelah penafsir itu memahami gaya bahasa arab serta
aspek-aspeknya, kosa kata bahasa arab dan sisi-sisi dilalah nya, juga asbab
al-nuzul.[7]
Metode tafsir ini sebenarnya tidak semuanya salah. Ada tafsir bi al-ra’yi
yang terpuji dan ada juga yang tercela. Sayangnya, para mufassir lebih
cenderung banyak yang jatuh pada tafsir yang tercela. Memang benar ada hadits
yang menyatakan demikian. Sebagaimana hadits-hadits berikut:
قال رسول الله: من
قال في القرأن بغير علم فليتبواء مقعده من النار (رواه الترمذي)
وقال رسول الله: من
قال في القرأن برأيه فأصاب فقد أخطأ (رواه الثلاثة)
Dari hadits di atas dapat
disimpulkan bahwa menafsirkan al-Qur’an adalah kesalahan karena mereka
menafsirkan dengan akal sama dengan berbicara tanpa ilmu. Oleh karena itu,
jamaah ulama salaf cara penafsiran di atas. Penafsiran yang berdasarkan atas
ketidaktahuan tentang al-Qur’an.[8]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa KH. Noor Hadi termasuk kyai yang berpaham
salaf.
Ini lah, menurut
Noor Hadi, banyak orang termasuk para teroris seperti Amrozi dkk, salah dan
sempit dalam memahami dalil-dali agama, al-Qur’an-Hadits. Mereka menafsiri
al-Qur’an dengan menuruti keinginan nafsu mereka dan mengabaikan aturan-aturan
hukum islam. Dapat dikatakan bahwa mereka dalam memaknai dalil-dalil agama
dilakukan secara tekstual dan menggunakan ra’yi.
Secara
tersirat beliau bermaksud bahwa seharusnya dalam menafsirkan al-Qur’an
menggunakan metode bi al-Ma’tsur. Yaitu penafsiran ayat dengan ayat;
penafsiran ayat dengan hadits Nabi saw yang menjelaskan makna sebagian ayat
yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat atau penafsiran ayat dengan hasil
ijtihad para sahabat atau dengan hasil ijtihad para tabi’in.[9]
Ini lah metode
yang disepakati oleh para ahli tafsir dan dianggap yang paling benar dan tepat.
Dengan metode ini diharapkan, seorang mufasir dapat menemukan makna al-Qur’an
dengan sebenar-benarnya. Ini sesuai dengan keinginan Noor Hadi terhadap
orang-orang yang berusaha menafsirkan al-Qur’an.
[1]
Chirzin, Muhammad, Pemikiran Tauhid Ibnu Taimiyyah Dalam Tafsir Surah
al-Ikhlas, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1999. h, 21
[2]
Athaillah, A, Sejarah al-Qur’an Verifikasi Tentang Otentisitas al-Qur’an, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010. h. 203
[3]
U. Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual, Usaha Memaknai
Kembali Pesan al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. h, 38.
[4]
Ibid,
[5]
Ibid,
[6]
Ibid, h, 42-43
[7]
Ichwan, Muhammad Nor, Memasuki Dunia Alqur’an. h, 179-180.
[8]
Chirzin, Muhammad, Pemikiran Tauhid Ibnu Taimiyyah Dalam Tafsir Surah
al-Ikhlas, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1999. h, 40
[9]
Al-Farmawi, Abd. Al-Hayy, Metode Tafsir Mawdhuiy, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1996. h, 12-13
Langganan:
Postingan (Atom)