Minggu, 14 Juli 2013

Sabtu, 23 Maret 2013

Kampung Bugis Muslim di Bali


Masjid As-Syuhada’
Masjid As-Syuhada’ merupakan salah satu masjid yang sangat tua, yakni didirikan pada saat kolonia Belanda, sebelum kemerdekaan Indonesia. Masjid ini terbilang sangat tua karena penyebar agama disini tidak dibawa oleh walisongo, melainkan salah satu ulama’ dari makasar. Masjid ini tergolong unik karena mampu berdiri dan bertahan serta terus berkembang, padahal wilayahnya adalah berdiri di kawasan orang Hindu. Yakni di kampung bugis, salah satu pulau yang letaknya dekat dengan Bali. Awalnya pulau ini terpisah dengan Bali, namun pada saat pemerintahan Soeharto, pulau ini disatukan dengan dibangunnya jembatan laut. Salah satu alasan dari pemerintah yaitu untuk memperlancar dan mempermudah arus transportasi.
Sejarah berdirinya masjid As-Syuhada’
Masjid As-Syuhada’ didirikan oleh H. Syech  Mu’min, beliau berasal dari daerah Makasar-Ujung Pandang. Beliau berasal dari keluarga bangsawan, beliau melancong ke daerah lain karena sangat menentang Kolonial Belanda, yang pada saat itu dibawah kekuasaan VOC. Sehingga beliau mengasingkan diri dan akhirnya ditemukanlah suatu pulau yaitu Bali bagian utara kemudian setelah itu beliau bergerak ke selatan. Setealah itu belau bermukim disana dan bertemulah dengan Raja Badung. Raja itu tahu bahwa H. Mu’min bukanlah orang sembarangan. Kemudian, raja mengutus prajurit untuk meminta H. Mu’min untuk tinggal di kerajaan. Akhirnya, H. Mumin menerima ajakan Raja Badung dan tinggallah beliau di istana. Namun, setelah beberapa bulan beliau meras sungkan dengan sang Raja, karena beliau di kerajaan tidak melakukan aktfitas yang bermanfaat. Akhirmya, beliau meminta ijin kepada sang raja untuk pergi dari kerajaan. Rajapun mengabulkan permintaan beliau.
Raja badung adalah raja yang sangat bijaksana dan mengayomi masyarakatnya, seperginya dari kerajaan beliau di beri tanah oleh sang raja seluas 2 hektar, padahal raja adalah orang Hindu. Kemudian daerah itu di kenal dengan kampung Bugis. Daerah itu dijadikan sebagai pusat penyebaran agam Islam oleh H. Mu’min. kemudian H.Mu’min ingin mendirikan masjid di daerah itu, dan meminta izin kepada raja atas pendirian masjid itu. Akhirnya, raja mengabulkan permintaan H. Mu’min untuk mendirikan masjid.
Suatu saat, sang Raja mempunyai kepentingan untuk menaklukkan suatu kerajaan lain untuk dijadikan sebagai daerah kekuasaanya, yaitu kerajaan mengwi. Namun, raja badung merasa  kewalahan menghadapi mereka,  raja sudah  berapa kali melakukan penyerangan dan kalah, karena Raja dan para prajurit kerajaan mengwi terkenal kebal terhadap benda tajam. Kemudian sang Raja, meminta bantuan kepada H. Mu’min untuk memimpin serangan terhadap kerajaan yang akan di taklukkan. Sebagai balas budhi H.Mu’min langsung menyanggupi permintaan sang raja untuk melakukan serangan.
H. Mu’min adalah orang yang sangat cerdas dal lincah, dengan siasat dan tak-tik beliau akhirnya pertempuran itu bisa di menangkan oleh H. Mu’min. Raja meminta kepada H. Mu’min supaya Raja Mengwi tidak dibunuh, namun H. Mu’min lupa akan pesan raja. Dan akhirnya H. Mu’min punya siasat, yaitu dengan membawa kepala raja musuh ke hadapan sang Raja. Dari sini pihak kerajaan sangat berterimakasih kepada H. Mu’min, dan merasa berhutang budi, sehingga tidak ada permusuhan antara orang Hindu dan orang Islam. Dari turun temurun kerajaan itu tetap melanggengkan leluhurnya dan masih mengenal jasa-jasa para pendahulunya. Keturunan dari kerajaan itu tetap menjaga hubungan yang harmonis dengan orang – orang dari golongan H. Mu’min.
Di kampung Bugis, kerukunan antar umat beragama sangat harmonis. Baik Muslim maupun Hindu tidak pernah ada masalah. Setiap ada acara pernikahan atau khitanan, atau acara untuk agama Hindu mereka saling mengundang, saling menghormati antar agama dan bergantian dalam memberikan suguhan makanan. Pasca terjadi bencana Bom Bali, kampung serangan tetap aman dari terror umat lainnya, berbeda dengan daerah lainnya.
Adapun jumlah KK beragama Islam di kampung bugis serangan sekitar 85 KK dengan jumlah jiwa mencapai 300 orang, perkembangan Islam disana cukup bagus, ada orang Hindu yang masuk Islam, namun tidak ada orang Islam yang masuk Hindu. Mengenai adat pernikahan, mereka masih menggunakan adat Bali. Sistem lembaga pendidikan Islam kejawen, Islam Bugis itu masih Islam murni, di sana ada SMP dan TPQ, tapi disana belum ada Sekolah Tingkat Atas, namun ada rencana ingin mendirikan Madrasah guna melengkapi fasilitas pendidikan yang ada.
Respon Masyarakat Terhadap Agama Islam Di Bugis-Serangan-Bali
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ * إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ ﴿هود؛ 118 - 119
“Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”. Q.S. Hud: 118-119.
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ ﴿البقرة؛ 133
“Adakah kamu hadir ketika Yakub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”. Q.S. al-Baqarah: 133.
Kenyataan yang dihadapi oleh umat manusia hingga hari ini adalah mereka tercipta bukan satu jenis. Ini artinya, umat manusia dibelahan bumi manapun masih selalu terjaga keanekaragamannya. Salah satu contohnya adalah Bali. Dengan sedikit menengok kehidupan masyarakat Bali dan corak keagamaan yang diyakininya, kita banyak menemukan keunikan didalam nya. Meski demikian, perbedaan tersebut tidak mengurangi rasa persatuan dan kesatuan sebagai hamba Yang Maha Esa.
Islam sebagai suatu keyakinan dapat diukur dengan sebuah variable, sejauh mana seorang Muslim percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.[1] Hal tersebut tidak terlepas dari tindakan-tindakan yang mengidentifikasikan bahwa seseorang telah memiliki keyakinan kuat yang tertancap kuat dalam hatinya bahwa mereka adalah seorang hamba dan juga sekaligus hamba Tuhan Yang Maha Esa yang berfungsi sebagai khalifahnya di muka bumi (al-Baqarah: 30, Shad: 26, al-A’raf: 69, 74, al-Naml: 62, al-An’am: 165, Yunus: 14, 73, al-Fathir: 39). Sehingga, dengan kesempurnaan yang dimilikinya, mereka telah diberi amanat oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk membangun surga di bumi.
Mengingat peran strategis dari para tokoh agama, perkembangan agama islam di Bugis, Bali patut diacungi jempol. Hal tersebut dikarenakan, mayoritas masyarakat yang notabene memeluk agama selain islam turut memberikan kesempatan kepada masyarakat minoritas. Namun, yang demikian tidak merubah keyakinan mereka. Karena masyarakat yang satu dengan yang lain saling menyadari akan adanya keberagamaan keyakinan. Sehingga dalam wilayah tersebutpun terjalin kerukunan antar umat yang baik.
Dalam hal ritual wajib, yakni intensitas menjalankan shalat berjama’ah lima waktu dan puasa pada bulan Ramadhan, yang juga merupakan bagian dari rukun Islam, umat Muslim Bugis-Bali masih terjaga dengan maksimal. Meski hidup ditengah-tengah masyarakat non-muslim, mereka tetap menjaga komitmen mereka sebagai seorang muslim sejati dengan tidak melakukan diskriminasi terhadap pemeluk agama lain.
Serentak dengan corak faham keagamaan yang dianut oleh masyarakat islam Bugis, sangat jelas bahwa mereka menganut faham Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah. Hal ini terlihat jelas melalui sikap dan nilai-nilai yang diamalkan disetiap aktivitas mereka. Dalam bermu’asyarah dengan masyarakat yang sama amupun beda agama, mereka tetap mengedepankan nilai-nilai ‘amaliah Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah.
Pertama, al-tawassuth yaitu sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim ke kiri ataupun ke kanan. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ﴿البقرة؛ 143.
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…”. Q.S. al-Baqarah: 143.
Kedua, al-tawazun yaitu seimbang dalam segala hal, termasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli maupun naqli[2]. Firman Allah SWT:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ ﴿الحديد؛ 25
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan…” Q.S. al-Hadid: 25.
Ketiga, al-i’tidal atau tegak lurus. Firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴿المائدة؛ 8
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.  Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” Q.S. al-Maidah: 8.
Selain ketiga prinsip ini, golongan ahl al-sunnah wa al-jama’ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى ﴿طه؛ 44
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” Q.S. Thaha: 44
Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s. agar berkata dan bersikap baik kepada fir’aun. Ketika menjelaskan ayat ini, Ibn Katsir al-Hafidz (701-774 H/ 1302-1373 M) mengatakan, “sesungguhnya dakwah Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s. kepada fir’aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaidah”.[3]
Semisal, ketika salah satu anggota masyarakat islam memiliki hajat, katakanlah walimah al-ursy mereka tetap mengundang tetangga sekeliling rumah mereka tanpa adanya unsur diskriminasi yang terbungkus oleh label agama. Begitupun sebaliknya dengan masyarakat pemeluk agama selain islam. Langkah-langkah tersebut mengidentifikasikan bahwa masyarakat islam di wilayah Bugis menjunjung tinggi nilai-nilai tawassuth, tawazun I’tidal dan tasamuh.
Komitmen kebersamaan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kebersamaan sebagaimana nilai bineka tunggal ika, dapat dijadikan sebagai landasan falsafah kehidupan bagi bangsa Indonesia. Yang mana landasan tersebut harus dibarengi dengan semangat persatuan dan kesatuan bangsa dan tentunya tidak saja diterapkan pada situasi-kondisi konflik, akan tetapi lebih jauh dari itu dapat menjadi pendoman hidup sehari-hari dalam mengatasi problem sosial, ekonomi dan politik yang kerap muncul ditengah-tengah dinamika kehidupan sosial. Rasa selunglung sabayantaka, dimana bumi dipijak disana langit dijunjung menjadi landasan berpikir bagi setiap insan sosial untuk selalu menghormati nilai-nilai kearifan lokal seraya menjadikannya sebagai pedoman bersama dalam kehidupan sosial. Apabila hal ini sudah menjadi “milik” bersama masyarakat tanpa memandang suku, ras, agama dan antar golongan dalam kehidupan kolektif niscaya keserasian dan harmonisasi sosial dapat menjadi bagian dari indahnya kehidupan bersama. Pusparagam suku, ras, agama, adat istiadat merupakan untaian kekayaan yang tak ternilai, perlu terus dijaga, dilindungi dan dikembangkan sebagai fondasi membangun karakter bangsa yang multicultur, satu dalam perbedaan dan berbeda dalam kesatuan.
Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan K.H. Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut:[4]
1)      Akidah
a)      Keseimbangan dalam penggunan dalil ‘aqli dan naqli;
b)      Memurnikan akidah dari pengaruh luar islam;
c)      Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid’ah apalagi kafir.
2)      Syari’ah
a)      Berpegang teguh pada al-Qur’an dan  al-Hadits dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah;
b)      Akal baru dapat digunakan pada masalah yang tidak ada nash yang jelas (sharih / qoth’i);
c)      Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (dzhanny).
3)      Tashawwuf / Akhlaq
a)      Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum islam;
b)      Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu;
c)      Berpedoman kepada akhlak yang luhur.[5]
4)      Pergaulan antar golongan
a)      Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing;
b)      Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda;
c)      Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai;
5)      Kehidupan bernegara
a)      NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa;
b)      Selalu patuh dan taat kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama;[6]
c)      Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah;
d)     Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan maka mengingatkannya dengan cara yang baik.
6)      Kebudayaan
a)      Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar;[7]
b)      Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-muchafadzatu ‘ala al-qadimi al-shalih bi al-jadid al-ashlach).[8]
7)      Dakwah
a)      Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberi vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridloi Allah SWT;
b)      Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas;
c)      Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.

REFERENSI
Miskawaih, Ibn. Menuju Kesempurnaan Akhlak, buku daras pertama tentang filsafat etika (terj. Tahdzib al-Akhlaq). 1994. Bandung: Mizan.
Jamhari. Jahroni, Jajang. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. 2004. Jakarta: Rajawali Press.
Gunawan, Restu. 2008. Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan dan Karya Sastra. Makalah disampaikan dalam Kongres Bahasa, Tanggal 28-31 Oktober 2008, di Jakarta.
Tim Sintesis Kebijakan, Perspektif Kearifan Budaya Lokal dalam Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Pertanian, www.Wikapedia.com.      



[1] Jamhari. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Hlm: 206.
[2] Yang dimaksud dengan dalil ‘aqli adalah dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional. Adapun dalil naqli merupakan dalil yang besumber dari al-Qur’an al-Karim dan al-Hadits al-Syarif.
[3] Tafsir al-Qur’an al-Karim juz III, hlm: 206 
[4] lihat khittah nahdliyyah. Hlm: 40-44.
[5] Terkait dengan akhlak yang luhur ibn maskawaih mengatakan bahwa akhlah adalah sesuatu yang diambil dari hasil nilai tengah. Misalnya: sikap al-syaja’ah atau berani merupakan niali tengah antara penakut dan ngawur atau sembrono, sikap tawadlu’ adalah nilai tengah antara sombong dan rendah diri, sikap dermawan merupakan hasil nilai tengah antara kikir dan boros. Lihat: Menuju Kesempurnaan Akhlah (terj). Hlm: 51.
[6] Terkait dengan masalah ini, Rosulullah SAW menjelaskan dalam hadits-Nya:
“tiada ketaatan terhadap suatu makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Sang Khaliq”.
[7] Wajar disini dimaksudkan agar suatu kebudayaan dinilai dan diukur sesuai dengan norma dan hokum agama secara proporsional.
[8] Kebudayaan yang baik dan tidak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.

CAH AYU SHOP [OLEH – OLEH KHAS BALI]


Laporan buat KKL Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Tahun 2013
CAH AYU SHOP [OLEH – OLEH KHAS BALI]
A.                Sejarah Berdirinya Cah Ayu Shop
Pulau Bali yang sudah terkenal diseluruh penjuru dunia dengan budaya dan alamnya yang indah lestari yang masih penuh dengan rangkaian upacara yang sangat disakralkan, sehingga menjadi salah satu tujuan wisata dunia yang mendapat kunjungan wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. Untuk memenuhi kebutuhan cinderamata dan oleh-oleh yang mempunyai ciri-ciri khas Bali diperlukan pusat oleh-oleh yang memenuhi syarat bukan hanya kelengkapan jenis barangnya saja tapi juga mudah pencapainya dan punya fasilitas parkir yang cukup luas dan nyaman untuk berbelanja.
Berbicara mengenai oleh-oleh di pulau Bali akan sangat tepat apabila kita dapat mengunjungi Pusat Oleh-Oleh Cah Ayu R27 yang berada di jalur pariwisata desa Batu-Bulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, selain mudah mencapainya juga mempunyai banyak pilihan barang dan akan dilayani dengan staf yang ramah. Selain itu Pusat Oleh-Oleh Cah Ayu R27 adalah YANG PERTAMA DAN TERPERCAYA karena sudah mendapat Certificate Halal dari MUI.  (Majelis Ulama Indonesia).
Cah Ayu R27 dirintis oleh Bapak Robani yang berasal dari keluarga yang sederhana yang lahir dari desa kecil yang sejuk dan subur tanahnya di lereng gunung Merbabu kabupaten Magelang. Dengan bekal tekad dan semangat serta doa restu dari kedua orang tuanya. Diawal tahun 1990an, beliau meninggalkan kampung halaman guna mencoba meraih impian di Pulau Bali. Adapun tujuan awal beliau adalah ke Banyuwangi menemui saudaranya, namun karena luasnya kota Banyuwangi, beliau tidak menemukan saudara yang dicarinya. Walhasil beliau memutuskan untuk menyeberangi lautan menuju pulau Bali.
Di Bali, pada awalnya Robani muda, mendapat pekerjaan sebagai seorang pembantu Rumah Tangga dan pada malam harinya beraktivitas di Rumah Sakit di Denpasar sebagai petugas Penjaga kamar mayat, bahkan memandikan mayatpun dijalaninya. Dengan berjalannya waktu, Robani muda yang penuh semangat dan impian besarnya mencoba berbagai pekerjaan dan usaha kecil lainnya mulai dari berjualan Sayur mayur, Mie ayam, Bakso, Jamu, Lampu dan sebagainya dengan menggunakan gerobak dorong dan sepeda onthel kesayangannya.
Pengalaman pahit yang memacu pemberontakan semangat untuk berubah adalah pada saat menjual kacang asin Bali sebagai pengasong (penjual makanan kecil yang menjajakan jualannya kepada wisatawan) yang pada suatu saat dikejar-kejar Polisi dan Tibum (polisi ketertiban umum). Dan pada saat itulah muncul tekad untuk menjadi pengusaha kacang asin yang bisa membantu orang-orang senasib.
Dengan menerapkan teori “THE POWER OF KEPHEPHET” dan ditempuh dengan proses panjang, keuletan, kegigihan, dan disertai dengan doa yang tiada henti maka pada tanggal 27 September 2002 dibukalah “PUSAT OLEH-OLEH CAH AYU” di Desa Celuk dan menjadi satu-satunya tempat wisata belanja yang PERTAMA DAN TERPERCAYA. Inspirasi nama “Cah Ayu” yang ia lekatkan pada nama outlet dan setiap produknya, ia peroleh dari lagunya Waljinah yang berbunyi, yen neng tawang ono lintang cah ayu. Selain itu menurutnya setiap produk yang berhubungan dengan wanita akan membawa image positif bagi pendengarnya, seperti kata “Cah Ayu” ini.
Pada perkembangannya PUSAT OLEH-OLEH CAH AYU yang dikunjungi banyak wisman dan wisnu sehingga mempunyai dampak positif bagi masyarakat sekitar, karena bisa menyediakan lapangan kerja baru dan menggerakkan roda ekonomi kerakyatan yang bisa menampung produk kerajinan masyarakat dan pada akhirnya bisa menambah pemasukan PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kabupaten Gianyar dan Provinsi Bali pada umumnya.
Cah Ayu R27 yang sekarang sudah berkembang dan akan terus mengembangkan inovasi baru untuk meningkatkan pelayanan kepada Wisatawan. Pada saat ini Bapak Robani sudah ratusan kali menjadi Motivator Kewirausahaan sampai diundang di beberapa Universitas/Perguruan Tinggi/Institusi pendidikan ternama di Solo, Jogja, Semarang, Malang, Jakarta, Banjarmasin, dan kota-kota besar lain di luar Jawa, sebagai Dosen Tamu, untuk mata kuliah Kewirausahaan.



-                      Peran Ilmu – ilmu Keushuluddinan dalam Dunia Bisnis
Sebagai Mahasiswa Fakultas Ushuluddin yang mendapat ilmu keushuluddinan, tentunya dalam berbisnis sangat diperlukan. Dari ajaran tasawuf sendiri diajarkan untuk zuhud, tidak merasa memiliki dan dimiliki dunia. Ini aplikasinya adalah ketika terdapat pasang surut dalam melakukan usaha, tidak menjadikan kita sebagai seorang muslim jauh dari Tuhan (putus asa) atau lupa karena terlena dengan kesenangan duniawi.  Amalan – amalan seperti sholat tahajjud, sholat dhuha serta berdo’a yang kuat, meminta kepada Allah supaya selalu diberi kelancaran dalam usahanya. Menjaga produk – produk yang dijual dari hal – hal yang bersifat haram.
Baginya segala inspirasi diperoleh dengan cara hijrah, iqra’, dan sedekah. Mengikuti teladan dari Rasulullah Muhammad SAW, menjadikannya mengembangkan sifat-sifat sebagaimana yang Rasulullah miliki. Baginya sifat Rasulullah yakni sifat siddiq, amanah, tabliqh, dan fatonah merupakan sifat yang wajib dimiliki bagi seorang pedagang. Saat hijrahlah ia mampu membaca. Tidak hanya dari buku, namun yang lebih utama ialah membaca fenomena yang ada guna mendapatkan peluang usaha. Namun baginya, keduanya hendaklah dilengkapi dengan sedekah berbagi kebahagiaan dengan sesama. Ini merupakan kunci sukses, yang dapat diperoleh tidak hanya dengan ketekunan dan usaha yang gigih serta meninggalkan sifat ragu-ragu saja. Akan tetapi baginya dapat diperoleh melalui do’a, yakni do’a kedua orang tua, do’a guru, dan do’a sang istri.
Setelah kami memperoleh informasi dari narasumber yang sekaligus owner Cah Ayu Shop itu sendiri, maka bisa dikatakan bahwa beliau merupakan sosok teladan yang perlu ditiru. Beliau tidak hanya berkecimpung dalam masalah duniawi saja, namun juga ukhrowinya tidak ketinggalan. Keseimbangan dalam muamalah, baik yang berhubungan dengan manusia ataupun Rabbnya menjadi hal yang dominan dalam berbisnis. Maka tak heran jika usaha beliau dalam menjalani bisnis kacang asin sampai saat ini mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Tentu kesuksesan beliau ini tidak diraih begitu saja tanpa ada kendala, namun juga beliau mengalami kegagalan di fase – fase awal, apalagi pasca bom Bali di tahun 2002. Ini menjadi contoh bagi kita untuk tidak mudah menyerah dan juga tidak mudah cukup, namun semua itu juga harus dibarengi dengan rasa syukur kepada Yang Kuasa.

Dari beberapa catatan diatas sangat berhubungan dengan beberapa ayat di bawah, antara lain:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi:110)
Dalam ayat ini Allah akan menigkatkan derajat orang yang mencari ilmu dan juga Dia akan memberikan ganjaran bagi orang yang mau bekerja, yaitu berjumpa dengan-Nya.
Allah berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتْ الصَّلاَةُ فَانتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. al-Jumu’ah: 10)
Tidak hanya urusan dunia saja, namun juga akherat agar mendapatkan Ridha dan Keberkahan dari-Nya.
-                      Proses Pembuatan Kacang Asin
            Dalam membuat kacang asin ini ada beberapa tahap, antara lain :
·         Tahap pertama : proses sortir bahan.
Ini merupakan proses penyortiran bahan yang merupakan langkah awal dan juga sebagai salah satu penentu kwalitas dan rasa dari kacang tersebut. Penyortiran ini sangat mempengaruhi hasil akhir dari proses penyaringan kacang tersebut.
·         Tahap kedua : proses perendaman.
Kacang yang sudah dipilih ataupun disortir akan direndam terlebih dahulu dengan tujuan untuk membersuhkan debu atau kotoran yang menempel pada kacang saat pengupasan dan juga untuk membersihkan sisa getah yang masih menempel pada kacang tersebut.
·         Tahap ketiga : proses pencampuran bumbu.
Setelah direndam, maka kacang tersebut ditiriskan kemudian dicampur dengan bawang putih yang sudah dihaluskan dan dicampur dengan sedikit garam dengan komposisi sebagai berikut :
100kg kacang : 3kg bawang putih : 3kg garam, setelah itu dibiarkan selama 12 jam dan diaduk sampai tercampur rata.
·         Tahap kempat : penjemuran / pengeringan.
Kacang yang telah tercampur dengan bumbu dan telah didiamkan hingga bumbu merasuk, kemudian dijemur di bawah matahari selama 5 - 6 jam atau sampai setengah kering.
·         Tahap kelima : penggorengan
Proses ini bisa dibilang unik karena dalam menggoreng kacang ini tidak menggunakan minyak goring seperti pada umumnya, akan tetapi menggunakan pasir laut yang berasal dari pantai klungkung yang telah melalui proses sterilisasi terlebih dahulu sehingga hygenis  serta layak untuk menggoreng. Dalam penggorengan ini tidak perlu menyalakan api terlalu besar untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Pada proses ini diperlukan tenaga ahli yag sudah berpengalaman dalam mengolah kacang asin ini.



·         Tahap keenam : penyeleksian
Kacang yang sudah matang tidak begitu saja dikemas, tapi akan diseleksi terlebih dahulu antara kacang yang layak dipasarkan dengan yang tidak layak, sehingga kwalitas kacang dapat dipertanggungjawabkan. Adapun kacang yag dibawah standarisasi kacang asin bali akan dimanfaatkan untuk bumbu masak atau pecel ataupun pakan ternak.
·         Tahap akhir : pengemasan
Pada proses finishing pembuatan kacang ini akan dikemas dengan teliti sesuai ukuran berat seperti yang tertera dalam kemasan, kemudian dipasarkan di outlet Cah Ayu R27.



RELEVANSI KEUSHULUDDINAN
Berbagai cabang keilmuan yang terdapat di Ushuluddin sangat berperan dalam berbagai urusan dunia. Beberapa di antaranya tentang entrepreneurship yang juga ada kaitannya dengan bisnis usaha yang ada di Cah Ayu Shop. Berusaha dan bekerja merupakan anjuran agama dan larangan putus asa bagi orang yang gagal dalam menjalankan usahanya. Namun, dalam berusaha juga harus dibarengi dengan do’a. Dalam artian seseorang tidak boleh mengurusi dunianya saja tanpa mempedulikan akhirat. Oleh karena itu, kunci sukses dalam menjalankan usaha tidak lepas dari kerja keras dan berdo’a dengan menjalankan semua yang diperintahkan Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Keseimbangan antara hablun minalah dan hablun minan annas.
Disamping entrepreneurship juga ada kerukunan antar umat beragama. Tentu kita tahu bahwa semua agama mengajarkan kebenaran. Sikap toleran, saling membantu antar sesama demi kebaikan bersama sangat dianjurkan. Semua itu dikarenakan manusia merupakan makhluk social yang tentunya tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Saling mengenalkan diri tanpa ada rasa saling membenci antar sesama dan juga saling menghormati.
Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan karena merupakan agama yang rahmatan lil ‘alamien. Banyak orang melakukan kekerasan disebabkan kekeliruan mereka dalam menafsiri ayat – ayat Al-Qur’an. Tidak sedikit dari mereka yang menafsirinya dengan tekstual tanpa memahami makna yang tersirat. Ini merupakan kesalahan besar bagi mereka yang hanya memahami kata demi kata tanpa mengetahui isi yang sebenarnya.




Pondok Pesantren Raudhatul Huffadz Kediri - Tabanan - Bali


 Laporan buat KKL Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang Tahun 2013
PONPES RAUDLATUL HUFFADZ
Raudlatul Huffadz merupakan salah satu dari beberapa Pondok Pesantren (PonPes) yang ada di Pulau Bali. Pondok ini didirikan oleh KH. Noor Hadi, seorang muslim asal Demak, Jawa Tengah dan terletak di Jl. A. Yani, Gg. Kamboja 1/04, Kecamatan Kediri, Tabanan, Bali. Pesantren yang berdiri di tengah-tengah penduduk yang notabene mayoritas non-muslim ini memfokuskan pada penghafalan al-Qur’an disamping ilmu-ilmu agama lainnya.
Sebagai pondok yang berdiri di tengah mayoritas penduduk beragama hindu ini, tentu banyak sisi menarik yang layak untuk diungkap. Baik dari sisi sejarah berdirinya sampai peran dan langkah-langkah hingga mampu eksis di tengah kepungan kepercayaan agama lain.
Sejarah dan latar belakang berdirinya pondok pesantren ini bermula dari keinginan beliau Noor Hadi untuk berdakwah dan mendirikan pesantren di Bali. Pada tahun 1979, beliau dengan hanya bermodalkan hafalan al-Qur’an berangkat memasuki Pulau Dewata. Bapak yang juga warga Nahdlatul Ulama’ (NU) ini terdampar di sebuah mushala di Tabanan ketika pertama kali menjejakkan kaki di Bali. Sebagai seorang musafir yang baru pertama kali datang ke Bali, hal yang pertama kali dilakukan adalah mencari tempat tinggal. Dengan kemampuan hafal al-Qur’an yang dimilikinya, dia berhasil meyakinkan penduduk setempat dan diperbolehkan tinggal di mushala tersebut.
Di daerah yang terletak di Jl. A. Yani ini lah nantinya dia memulai perjuangan mendirikan Pondok Pesantren. Hal yang pertama kali dia lakukan sesampainya di Bali adalah mencari teman-teman seperjuangan yang ada di Bali. Bersama enam orang lainnya dia memulai usaha dakwahnya berawal dari daerah sekitar Kabupaten Tabanan.
Kabupaten Tabanan sendiri memiliki jumlah penduduk sebanyak 350.000 Kepala Keluarga (KK). Dari jumlah tersebut hanya sekitar 5.000 KK yang beragama islam. Dengan kata lain, Noor Hadi berdakwah di daerah yang notabene mayoritas penduduknya beragama non islam, sebagian besar Hindu. Tabanan sendiri terbagi ke dalam delapan (8) kecamatan, yang mana dari setiap kecamatan sebenarnya sudah terdapat satu buah mushala. Hanya satu kecamatan saja yang belum ada mushalanya. Namun, kondisi mushala tersebut bagaikan hidup segan mati tak mau. Hal ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi Noor Hadi.
Beranjak dari itu lah, Noor Hadi beserta enam temannya mempunyai inisiatif untuk mengadakan kegiatan keagamaan (pengajian, red) di delapan kecamatan tersebut. Dari sini lah beliau menemui hambatan pertamanya. Berawal dari pelaksanaan pengajian di satu kecamatan yang belum ada mushalanya itu, Noor Hadi dkk yang menyewa tempat di sebuah ruko pasar mendapatkan perlawanan dari orang-orang setempat. Beliau beserta jamaah mendapatkan lemparan batu agar dengan segera membubarkan kegiatan tersebut. Hal ini tidak terlepas dari penduduk setempat yang memang anti terhadap kegiatan berbau agama.
Untuk hal-hal semacam tadi penduduk memang masih sangat sensitive. Namun untuk hubungan social dalam kehidupan sehari-hari, penduduknya terkenal ramah dan baik hati tanpa memandang agama orang lain. Hal ini dibuktikan dari pengalaman Noor Hadi ketika saling bertegur sapa dengan penduduk sekitar. Setiap kali bertemu dia selalu disapa dengan sapaan yang sangat ramah, seperti (mau kemana?, red) lalu disambung dengan (mampir, makan-makan dulu, red).
Keramahan tersebut tetap terjaga hingga terjadi peristiwa yang menggegerkan Indonesia, bahkan dunia, yaitu dua kali peristiwa bom Bali. Peristiwa bom Bali yang digawangi oleh Amrozi dkk itu tidak hanya melululantahkan bangunan-bangunan di Bali tapi juga kerukunan hidup antar umat beragama yang telah lama terjaga.
Setelah peristiwa bom Bali itu umat islam mendapatkan banyak pandangan negative. Umat islam yang dulu hidup damai dengan umat agama lain, kini dianggap sebagai teroris yang sewaktu-waktu siap untuk meledakkan bom. Umat islam di Bali menjadi tidak nyaman untuk beraktivitas karena selalu mendapat kecurigaan. Kehidupan ekonomi baik umat islam maupun umat agama lain juga jatuh. Banyak umat islam yang dulu sudah mapan ekonominya waktu itu harus kocar kacir dan balik ke kampung halaman.
Hal ini sangat disayangkan oleh Noor Hadi dan bertekad untuk memperbaikinya. Untuk merealisasikan keinginannya tersebut, langkah awal yang dilakukan oleh Hadi adalah mengembalikan perekonomian umat islam. Hal ini bertujuan agar kalau umat islam sudah mapan, maka kegiatan syi’ar islam akan lebih mudah untuk diwujudkan. Ini tidak terlepas dari kondisi umat islam Bali yang memang “rendah” tingkat ekonominya bila dibandingkan dengan umat Hindu. Usaha yang direncanakannya itu menuai hasil setelah mendapatkan dukungan dari Gubernur setempat pada waktu itu yang memang secara kebetulan juga beragama islam.
Langkah yang beliau ambil ini tidak terlepas dari semangat dan motivasi beliau untuk menyi’arkan islam dan mendirikan PonPes di Bali yang notabene jauh berbeda dari kultur islam, baik dari segi budaya, agama, dan etnic. Namun, Noor Hadi yang diliputi semangat al-Qur’an berkeyakinan bahwa hanya al-Qur’an lah yang mampu menembus semua perbedaan yang ada, karena di dalam al-Qur’an tidak terdapat suatu perbedaan. Hanya al-Qur’an lah yang mampu menyelesaikan semua perbedaan yang ada. Hal ini sebagaimana ayat al-Qur’an yang berbunyi  ............فان تنازعتم في شيئ فردوه الى الله ....الأية (QS. An-Nisa’: 59).
Dengan semangat al-Qur’an tersebut, keinginan beliau untuk mendirikan pondok pesantren di Bali semakin menggebu. Ditambah lagi dengan adanya dorongan dari guru beliau, yaitu Kyai Arwani, Kudus, agar dia mendirikan sebuah pondok dan diberi nama Raudlatul Huffadz. Bangunan pertama kali pondok ini didirikan di atas sebidang tanah dengan ukuran 3x4 meter2 yang beliau beli sendiri. Pada masa-masa awal, beliau mengajar sendiri dengan murid seadanya serta tidur bersama di lantai bangunan yang sempit itu.
Setelah pondok berdiri, keinginan beliau selanjutnya adalah membangun sebuah masjid. Namun dalam langkahnya menemui berbagai kendala. Mulai dari adanya Peraturan Daerah yang mengharuskan setiap pendirian tempat ibadah harus ada komunitas paling sedikit 60 KK hingga 100 KK dan disyaratkan harus sebagai pemilik tanah yang diakui sebagai penduduk dibuktikan dengan menunjukkan KTP. Ditambah lagi dengan mengingat kondisi umat islam Bali jarang ada yang memiliki tanah sendiri. Jangankan untuk wakaf masjid, untuk kebutuhan sendiri saja sudah susah. Maka untuk mensiasati hal tersebut, maka dicetuskan rencana untuk saling lelang dan iuran di antara warga guna pembangunan masjid.
Selain itu dalam rangka memudahkan dakwanya, dia bersama enam orang temannya tadi yang kebetulan sama-sama warga NU, membentuk suatu badan kepengurusan dengan tanpa Surat Keputusan (SK) dari PBNU. Beliau mengangkat diri sebagai Rais Suriah waktu itu. Namun dalam perkembangannya nanti beliau ditetapkan Rais Suriah terlama mulai dari 1980-sekarang.
Dalam usahanya satu ini juga tidak terlepas dari berbagai kendala. Diantaranya adalah ketika mendapatkan undangan untuk menghadiri dua muktamar, Situbondo dan Yogya, mereka dilarang masuk karena tidak memiliki SK. Puncaknya adalah ketika menjelang muktamar di Pasuruan. Waktu itu pengurus PBNU membawa surat yang isinya tentang pembekuan NU Bali. Namun, dengan segala upaya akhirnya kini NU Bali sudah diakui dan Noor Hadi ditetapkan sebagai Rais Suriah terlama.
Selain menjabat sebagai Rais Suriah, beliau juga mengasuh dan mengembangkan eksistensi PonPes Raudlatul Huffazh miliknya. Salah satu yang menjadi concern beliau adalah penghafalan al-Qur’an dengan berbagai metodenya. Adapun metode yang dikembangkan beliau dalam pondok ini terdiri dari berbagai macam. Pertama, istiqamah, artinya para santri harus menyediakan waktu-waktu tertentu untuk “bercumbu” dengan al-Qur’an. Kedua, menulis, artinya santri selain menghafal juga harus mampu untuk menuliskan apa yang telah dihafalnya. Ini untuk mempermudah mengingat hafalan. Hal ini juga dilatarbelakangi keprihatinan beliau yang menyaksikan banyaknya anak muda sekarang yang tidak bisa menulis arab, baik yang lulusan aliyah maupun pesantren. Terakhir adalah ketelitian terhadap tanda waqaf (tempat berhenti baca). Beliau akan menyalahkan bacaan santri apabila dia salah dalam me-waqaf-kan bacaannya. Hal ini berguna untuk menghindari adanya salah pemaknaan dalam menafsirkan al-Qur’an. Ini karena banyaknya orang yang salah dalam menafsirkan al-Qur’an.
Beliau juga menyayangkan orang-orang yang memahami al-Qur’an secara tekstual. Pernah suatu ketika ada orang beranggapan bahwa shalat dengan sambil berjalan ataupun berkendara itu boleh. Hal ini berdasarkan pemahaman harfiyah terhadap ayat 236 dalam surat al-Baqarah. Ini merupakan bencana, yang karena keterbatasan pemikiran sendiri sehingga al-Qur’an menjadi begitu sempit cakupannya. Beliau juga mengungkapkan hadits yang berarti bahwa menafsirkan al-Qur’an dengan akal (ra’yi) adalah hal yang salah.
Hal ini tidak terlepas dari penyayangan beliau terhadap tindakan para teroris, seperti Amrozi dkk, yang mengatasnamakan agama dalam segala aksi mereka. Mereka beralasan dengan dalih jihad fi sabilillah serta sering menggunakan dalil-dalil agama.  Sebagaimana dalil yang diklaim oleh para teroris untuk melegalkan tindakan mereka, yang berbunyi fal yughayyirhu biyadihi. Beliau mengatakan bahwa secara logika memang tidak salah, namun di dalam prakteknya terjadi kekeliruan. Karena banyak umat islam juga yang menjadi korban dari tindakan mereka.
Maka dari itu beliau menyarankan kepada para mahasiswa agar melakukan pemahaman terhadap al-Quran dengan benar. Agar para mahasiswa memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat yang tidak tahu. Hal ini agar masyarakat tidak terseret oleh pemahaman orang-orang yang tidak bisa memahami al-Qur’an secara benar.
Analisa
Apa yang dilakukan oleh KH. Noor Hadi dalam rangka mewujudkan cita-citanya—mendirikan pondok guna syi’ar islam—pada dasarnya sama dengan apa yang telah dilakukan rasulullah saw dahulu kala. Sebagai strategi dakwa beliau dalam menegakkan agama Allah, rasulullah melakukan hijrah dari Makkah menuju Madinah. Langkah tersebut diambil oleh beliau karena pada waktu itu selama di Makkah beliau mendapatkan banyak rintangan dan siksaan yang begitu berat, bahkan oleh kerabatnya sendiri.
Beliau yang telah mengalami banyak kesedihan selama berdakwa di Mekkah diperintahkan oleh Allah swt untuk berhijrah ke Madinah. Perintah hijrah ini semata-mata bukan menunjukkan kegagalan Muhammad dalam mengajak orang-orang agar masuk islam. Tetapi justru sebaliknya, yaitu untuk menghibur diri rasulullah dan menunjukkan kebesaran Allah swt. Hal ini tercermin dalam surat al-Fath yang menerangkan akan keberhasilan yang dicapai oleh rasulullah saw dalam peristiwa fath makkah. Menurut Ibnu Taimiyyah ayat tersebut diturunkan untuk menghibur dan membesarkan hati Nabi.[1]
Dalam hal ini KH. Noor Hadi telah meniru apa yang dilakukan rasulullah. Hijrah untuk mencapai kesuksesan. Bila kita cermati apa yang terjadi pada rasulullah dan KH. Noor Hadi nyata berbeda kondisinya. Rasulullah saw hijrah dari tempat dimana ia mendapatkan banyak cobaan (Mekkah) menuju tempat yang relative nyaman (Madinah). Sementara Noor Hadi berhijrah dari tempat yang sebaliknya dari rasulullah. Dia berpindah dari tempat yang relative enak (Demak) menuju tempat dimana dia akan mendapatkan banyak ujian (Bali). Sebagaimana yang dia katakan, bahwa sebenarnya dia sudah punya “keramat” di Demak bersama orang tuanya. Namun karena dia bukan tipe orang yang suka “keramat gandul”, maka dia memutuskan untuk berpetualang ke Bali. Akan tetapi sebenarnya pada dasarnya apa yang berdua lakukan adalah sama, yaitu berhijrah.
Di samping itu juga keyakinan yang beliau pegang ketika berjirah bahwa al-Qur’an akan mampu menembus kemana-mana dan tidak ada perbedaan di dalamnya juga turut membantu kesuksesan Noor Hadi. Mengingat di Bali memang terdapat begitu banyak perbedaan mulai dari etnic, agama, ras, budaya dan kepercayaan. Namun, semua perselisihan atau perbedaan tersebut bila dikembalikan pada Allah swt dalam hal ini melalui firman-firman-Nya (al-Qur’an), maka akan mendapatkan jalan keluar yang terbaik. Sebagaimana firman-Nya QS. Al-Nisa’ 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
            Beranjak pada metode hafalan al-Qur’an yang selama ini dikembangkan di pondok pesantren Raudlatul Huffazh, yaitu istiqamah, menulis, dan pembenaran waqaf. Dari ketiga metode tersebut yang paling berbeda dan khas dibandingkan dengan pondok pesantren lainnya adalah metode menuliskan hafalan. Disamping sebagai cara untuk mendidik para santri supaya bisa menulis arab, menurut Noor Hadi cara ini juga mampu menguatkan ingatan hafalan para santri. Dan ternyata memang benar adanya.
Metode menuliskan hafalan juga telah diterapkan oleh rasulullah dan para sahabatnya sejak dahulu. Tiap kali rasulullah menerima wahyu maka secara langsung beliau menyuruh para sahabatnya untuk menghafal dan menuliskannya. Hal ini guna untuk memelihara makna-makna kandungannya dan menjaga kebenaran hafalan mereka. Cara ini juga bermanfaat ketika hendak menafsirkan al-Qur’an. Apabila ada yang salah dalam menafsirkan maknanya, akan ada orang-orang yang meluruskan kesalahan tersebut.[2]
Sebenarnya dari ketiga metode hafalan tersebut, dua yang terakhir—menulis dan waqaf—secara tidak langsung ditujukan untuk membantu dalam menafsirkan al-Qur’an secara benar. Beliau, Noor Hadi tidak ingin santrinya salah dalam menafsirkan kalam Allah itu. Terlebih apabila penafsirannya itu dilakukan secara tekstual dan hanya berdasarkan akal saja.
Sebenarnya istilah “tafsir tekstual” itu tidak dikenal dalam ilmu tafsir. Namun, istilah ini telah dikenalkan sejak kemunculan metode tafsir, seperti tahlili, mujmal ataupun maudlu’i. Ini tergantung pada tujuan penemuan makna al-Qur’an itu sendiri, apakah secara tekstual atau kontekstual.[3] Maka dari itu, penganut aliran ini akan memaknai al-Qur’an sesuai dengan apa yang ada dalam teks, tanpa mempertimbangkan sumber hukum lainnya, seperti hadits.
Bagi orang yang menganut tafsir tekstual ini beranggapan bahwa al-Qur’an adalah satu-satunya sumber kebenaran yang tunggal dan mutlak. Kemutlakannya ini berlaku untuk semua situasi dan kondisi.[4]
Meminjam istilah fiqhiyah, tafsir tekstual berarti melakukan pemaknaan terhadap al-Qur’an berdasarkan apa yang tampak secara lahiriah. Dalam sejarah fiqh aliran ini dipelopori oleh aliran zahiriah. Aliran ini berpegang pada tiga prinsip dasar: pertama, keharusan untuk berpegang pada lahiriah teks dan hanya boleh dilampaui dengan zahir lainnya. Kedua, maksud sebenarnya dari teks adalah apa yang terdapat pada zahir nya, bukan pada penalaran teks yang mendalam. Ketiga, merupakan sebuah kesalahan apabila mencari alasan di balik penetapan syari’at.[5] Inilah mengapa tidak jarang ada pihak yang menetapkan hukum sesuai apa adanya teks tersebut meskipun situasi dan kondisinya tidak tepat sama sekali.
Atas dasar itu, seharusnya umat islam membutuhkan suatu tafsir yang sistematis, yang mampu berlaku adil terhadap al-Qur’an dan menyeluruh. Dalam hal ini yang dimaksud adalah tafsir kontekstual. Kata kunci dari aliran ini adalah “akar sejarah”. Gagasan ini muncul dari keprihatinan terhadap penampilan tafsir al-Qur’an yang ada selama ini. Menurut Fazlur Rahman, sebagai penggagas tafsir kontekstual, tafsir-tafsir yang selama ini ada hanya menghasilkan pemahaman yang sepotong (parsial).[6]
Aliran tafsir inilah yang seharusnya banyak digunakan dan dikembangkan oleh umat islam. Dan mungkin ini juga lah yang dikehendaki oleh KH. Noor Hadi bagi santri-santrinya dalam menggali makna al-Qur’an. Tafsir tekstual ini lah yang sebenarnya sesuai untuk menafsirkan al-Qur’an pada kehidupan saat ini. Karena dengan kontekstualisasi al-Qur’an tujuan dari al-Qur’an yang shalih li kulli zaman wa makan dapat tercapai. Dengan bertolak dari asbab al-nuzul dan konteks sejarah diturunkannya ayat, yang dalam bahasa Rahman untuk mencari moral idea.
Selain tafsir tekstual, Noor hadi juga menyayangkan orang-orang yang menafsirkan al-Qur’an dengan akalnya. Beliau mengatakan yang karena keterbatasan akal manusia, al-Qur’an menjadi terlihat sempit. Menurut beliau penafsiran dengan ra’yi adalah penafsiran yang salah.
Sementara itu, tafsir bi al-ra’yi menurut al-Dzahabi ialah metode penafsiran yang menggunakan ijtihad setelah penafsir itu memahami gaya bahasa arab serta aspek-aspeknya, kosa kata bahasa arab dan sisi-sisi dilalah nya, juga asbab al-nuzul.[7] Metode tafsir ini sebenarnya tidak semuanya salah. Ada tafsir bi al-ra’yi yang terpuji dan ada juga yang tercela. Sayangnya, para mufassir lebih cenderung banyak yang jatuh pada tafsir yang tercela. Memang benar ada hadits yang menyatakan demikian. Sebagaimana hadits-hadits berikut:
قال رسول الله: من قال في القرأن بغير علم فليتبواء مقعده من النار (رواه الترمذي)
وقال رسول الله: من قال في القرأن برأيه فأصاب فقد أخطأ (رواه الثلاثة)
            Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa menafsirkan al-Qur’an adalah kesalahan karena mereka menafsirkan dengan akal sama dengan berbicara tanpa ilmu. Oleh karena itu, jamaah ulama salaf cara penafsiran di atas. Penafsiran yang berdasarkan atas ketidaktahuan tentang al-Qur’an.[8] Sehingga dapat disimpulkan bahwa KH. Noor Hadi termasuk kyai yang berpaham salaf.
Ini lah, menurut Noor Hadi, banyak orang termasuk para teroris seperti Amrozi dkk, salah dan sempit dalam memahami dalil-dali agama, al-Qur’an-Hadits. Mereka menafsiri al-Qur’an dengan menuruti keinginan nafsu mereka dan mengabaikan aturan-aturan hukum islam. Dapat dikatakan bahwa mereka dalam memaknai dalil-dalil agama dilakukan secara tekstual dan menggunakan ra’yi.
Secara tersirat beliau bermaksud bahwa seharusnya dalam menafsirkan al-Qur’an menggunakan metode bi al-Ma’tsur. Yaitu penafsiran ayat dengan ayat; penafsiran ayat dengan hadits Nabi saw yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat atau dengan hasil ijtihad para tabi’in.[9]
Ini lah metode yang disepakati oleh para ahli tafsir dan dianggap yang paling benar dan tepat. Dengan metode ini diharapkan, seorang mufasir dapat menemukan makna al-Qur’an dengan sebenar-benarnya. Ini sesuai dengan keinginan Noor Hadi terhadap orang-orang yang berusaha menafsirkan al-Qur’an.




[1] Chirzin, Muhammad, Pemikiran Tauhid Ibnu Taimiyyah Dalam Tafsir Surah al-Ikhlas, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1999. h, 21
[2] Athaillah, A, Sejarah al-Qur’an Verifikasi Tentang Otentisitas al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. h. 203
[3] U. Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual, Usaha Memaknai Kembali Pesan al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. h, 38.
[4] Ibid,
[5] Ibid,
[6] Ibid, h, 42-43
[7] Ichwan, Muhammad Nor, Memasuki Dunia Alqur’an. h, 179-180.
[8] Chirzin, Muhammad, Pemikiran Tauhid Ibnu Taimiyyah Dalam Tafsir Surah al-Ikhlas, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1999. h, 40
[9] Al-Farmawi, Abd. Al-Hayy, Metode Tafsir Mawdhuiy, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996. h, 12-13